Home Budaya PAMERAN FOTOGRAFI KAIN ULOS: MAESTRO YANG TAK TAMPAK

PAMERAN FOTOGRAFI KAIN ULOS: MAESTRO YANG TAK TAMPAK

62
Ibu Lince br. Siahaan, Desa Meat, Kabupaten Toba.

By Raihul Fadjri

Terasmedan – Bagaimana jika suku Batak di Sumatera Utara tanpa kain ulos? Itulah bayangan pertanyaan paling menggelisahkan Dewi Sartika Bukit (1981) setelah bertemu seorang perempuan pengrajin ulos di satu kampung di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, pada 2018.

Dengan bayangan pertanyaan itu, Dewi terpanggil untuk menjawabnya lewat riset etnografis pada akhir 2022. Hasilnya, ratusan foto dan film dokumenter yang dipajang dalam pameran bertajuk “Maestro yang Tak Tampak” di Galeri Salihara, Jakarta, 17-24 Januari 2023.

“Pameran ini meyakinkan bahwa tanpa ulos dan perempuan pengulos Batak akan kehilangan “nama” sehingga Batak bakal “berlubang” di jantung kebudayaannya,” tulis Wahyudin, kurator pameran dalam keterangan persnya.

Menurut dia, itu sebabnya, ulos bukan sekadar selembar kain, melainkan penanda eksistensial suku Batak. Itu sebabnya pula perempuan pengrajin ulos bukan pembuat kain belaka, melainkan pencipta dan penjaga martabat Batak. “Tanpa mereka, bisa dipastikan, ulos akan punah dan sirna pulalah sesuatu yang berharga dalam kebudayaan Batak,” ujar Wahyudin.

Maka, Dewi Sartika Bukit, alumnus Fakultas Seni dan Media Rekam, Jurusan Fotografi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dengan foto dan film dokumenter, berikhtiar mengapresiasi ulos dan perempuan pembuat ulos yang nyaris tak teracuhkan, kalau bukan tersia-siakan, di sejumlah kampung di seputar Danau Toba.

“Tepat jika Dewi Sartika Bukit mengakui dan menghormati perempuan pengulos dalam ratusan foto dan film dokumenter sebagai “Maestro yang Tak Tampak,” katanya. Pameran itu juga menggelar diskusi, perupa bicara, dan workshop fotografi dan film dokumenter.

Menurut pengamat seni fotografi Soeprapto Soedjono pameran foto ini merupakan pilihan topik yang terkait dengan nilai adiluhung etnik beserta kompleksitas permasalahan nilai-nilai tradisi yang sedang dialami dan dihayati oleh para penerus dan pewaris pelestarian artefak Ulos di tanah Batak sejak dulu hingga kini. “Selintas, mungkin masalah-masalah itu yang sedang dipertanyakan sang fotografer dengan tampilan pada pameran ini,” tulis guru besar fotografi pertama di Indonesia ini dalam katalog pameran.

Menurut Soeprapto, pameran dan penayangan film dokumenter tentang ulos ini sebagai refleksi visual dapat juga dikaitkan dengan kenangan dan pengalaman kolektif masyarakat masa lalu yang mungkin masih dilakukan saat ini sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Namun ada yang meyakini bahwa sebagian juga harus direlakan untuk hilang ditelan masa karena tantangan hidup yang berubah.

“Apalagi tiada upaya untuk mencoba mengidentifikasi dan mendokumentasikan dengan baik yang diharapkan apa yang tersisa masih bisa diwariskan pada generasi mendatang,” ujarnya.

Hal ini pula, menurut dia, mendorong sang fotogafer, Dewi Sartika Bukit, dengan upayanya menginisiasi dan melaksanakan pameran dan penayangan filmnya sebagai bagian dalam mendukung upaya pelestarian seni budaya. “Untuk mencegah terjadinya ‘library on fire’ terhadap warisan tradisi budaya etnik masyarakat Batak dengan ULOS-nya secara khusus dan seni budaya lainnya di Nusantara.