By Raihul Fadjri
Terasmedan – Tehnik dalam praktek penciptaan karya seni rupa tak sekadar cara perupa menghasilkan karyanya, tapi lebih dari itu. Hal ini terlihat jelas pada pameran lukisan bercorak realis karya Suharmanto di Jogja Gallery, Yogyakarta, 7 – 27 Februari 2023.
Pada pameran bertajuk Melihat Diri: Aku Siapa?, pelukis kelahiran Bantul, Yogyakarta, 47 tahun lalu ini memajang 19 karya lukis dengan teknik realis sebagaimana yang dia tekuni selama 27 tahun berkarir sebagai pelukis. Bahkan pada pameran ini sebagian besar karyanya digarap dengan teknik hyperrealistic atau acap juga dikenal dengan istilah realisme fotografis, satu teknik dalam seni rupa yang dipakai pelukis untuk menghadirkan subject matter berupa citraan bentuk yang sama persis dengan bentuk aslinya ke atas kanvas lukisan.
Pada karya lukisnya Suharmanto bak memotret dengan menggunakan perangkat kamera foto dengan mengeksplorasi tema tentang kehidupan personalnya berupa potret wajah figur-figur yang dekat dengan kehidupannya, dari sosok ibu, anak, dan saudaranya, hingga kuda hitam-legam impiannya. Hasilnya, potret figur dengan penggarapan citraan yang sangat detil.
Tengoklah karya bertajuk Ibu Kita Melihat (2021), berupa potret wajah seorang perempuan lanjut usia dengan tangannya menutup bagian bawah wajah. Karya lukis ini bak karya fotografi dengan efek pencahayaan tertentu yang menghasilkan citraan garis-garis berupa gurat ketuaan usia pada permukaan kening dan kulit tangan yang tampak kering, dengan citraan yang sangat kuat dalam warna monokrom coklat. Helai-helai rambut putih–uban–makin menegaskan ketuaan usia perempuan ini.
Eksplorasi yang super detil terhadap terhadap citraan bentuk dipertontonkan Suharmanto lewat sejumlah karya, antara lain Next Generation #1 (2022), Next Generation #2 (2022), Sejarah Diam (2022), Lihatlah (2023). Pada empat karya berupa potret wajah anak perempuan dari tampak samping ini Suharmanto tak hanya menampilkan kemampuannya mengeksplorasi citraan realisme fotografis dengan teknik pencahayaan yang pas pada permukaan kulit. Dia juga menunjukkan ketekunannya menggarap detil pakaian yang dikenakan berupa kain brokat yang biasa dipakai untuk atasan pakaian kebaya. Kain brokat bentuknya bertekstur berupa struktur bentuk jalinan benang yang menghasilkan bentuk pola dekoratif pada tekstil tradisional ini. Suharmanto masih mengimbuhi pola dekoratif yang beraturan pada citraan kain brokat itu dengan struktur garis-garis ekspresif di bagian luarnya yang mengesankan satu suasana yang berpedar mengelilinginya.
Menariknya, semua citraan detil realisme fotografis itu bukan merupakan hasil sapuan kuas (brush stroke), melainkan goresan pisau palet di atas permukaan kanvas. Padahal pisau palet biasanya dipakai untuk menghasilkan tekstur pada permukaan kanvas. Tapi Suharmanto menggunakan pisau palet yang sejatinya tumpul, tapi di tangannya berubah tajam dan lentur bak kuas yang menari menyapu bidang datar kanvas dengan berbagai warna.
Suharmanto mengaku dia sudah mulai menggunakan pisau palet untuk karya tertentu sejak 2015. Pada karya yang dipajang pada pameran tunggalnya yang ke-7 kali ini dia memang total menggunakan pisau palet sebagai penanda dalam pameran tunggal ini.
“Dengan menggunakan pisau palet, keyakinan dan spontanitas goresan lebih kena buat saya, sekaligus meninggalkan tekstur artistik yang aku inginkan dalam setiap karya,” katanya.
Dia mengaku, penggunaan pusau palet untuk menggarap detil realis pada lukisan itu memang lebih sulit tinimbang memakai kuas. “Justru itu tantangannya. Kesulitan itu seperti menantang diri saya mempersiapkan tunggal ini selama 14 bulan,” ujar ayah tiga anak ini. “Juga biar rasa yang saya tuangkan dalam karya bisa saya dapatkan.